Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Rabu, 05 Januari 2011

Filsafat Skolastik Islam (dalam tinjauan Filsafat dan Politik)

Rabu, 05 Januari 2011


Filsafat Skolastik Islam (dalam tinjauan Filsafat dan Politik)

Oleh: Muhammad Ilyas 2

Pengaruh filsafat dalam perpolitikan di dunia Islam telah dimulai dizaman Mutakallimin. Sebelum kita bicarakan panjang lebar tentang mazhab-mazhab Mutakallimin, maka perlu kita peringatkan bahwa dalam pembahasan-pembahasan Mutakallimin ini umumnya tidak ada pembicaraan mendalam tentang kejadian alam. Hal ini terjadi karena tidak ada perbedaan secara mutlak diantara para Mutakallimin tentang kejadian alam. Dimana pembahasan tentang yang Ada ini hanya terdiri dari dua macam yauitu Al Khalik (Tuhan Pencipta) dan Al Makhluk.(alam semesta termasuk manusia). Alam semesta ini terjadi adalah semata-mata dengan sebab dijadikan Allah (tuhan Pencipta), bukan terjadi dengan sendirinya dan bukan disebabkan oleh sesuatu selain Allah.
Mengenai bagaimana tingkatan-tingkatannya kejadian alam semesta itu, mana yang dulu dan mana yang kemudian, dan bagaimana jalan evolusinya itu, ataukah terjadinya itu hanya sekaligus saja, maka hal ini pada umumnya dibicarakan sekadarnya saja oleh para Mutakallimin seperti kaum Mu’tazilah dan golongan Al Asy’ari.
Pembicaraan yang berani dan bertele-tele tentang detailnya kejadian alam itu terdapat pada periode Filsafat Islam oleh Al Farabi dan Ibnu Sina, mereka yang banyak terpengaruh oleh filsafat klassik Yunani. Pembicaraan mereka tentang inilah nanti yang menyebabkan Al Ghazali sangat menentang pembahasan filsafat, sebab dianggap hanya membingungkan saja.
Mengenai ilmu Tauhid, yakni suatu rumusan ilmu tentang kepercayan (Aqa’id) yang sesuai menurut ajaran Islam, terutama soal qadar Tuhan (kekuasaan Tuhan dalam menentukan nasib manusia) adalah akibat persoalan dalam kalangan Islam sendiri, bukan dari pengaruh agama Nasrani. Sebagai titik permulaan dari persoalan ini adalah munculnya pendapat Al Khawarij yang telah mencela sikap Khalifah Ali yang mau berdamai dengan Muawiyah dalam perang Siffin.
Dasar timbulnya kaum Khawarij adalah soal politik. Lalu berubah menjadi soal dogmatik theologies. Mereka menuduh Khalifah Ali bin Abi Thalib lebih percaya pada putusan manusia dan mengesampingkan putusan Allah. Karena itu Khalifah Ali dianggap berdosa besar terhadap Allah. Bahkan dianggap bukan muslim lagi (kafir). Pendapat khusus tentang Ali ini lalu menjadi pendapat umum kaum Khawarij:
“Setiap orang dari ummat Muhammad SAW yang terus meneru berbuat dosa besar dan hingga matinya belum juga tobat, maka orang itu dihukum mati kafir dan kekal dalam neraka”.
Terhadap kewajiban patuh pada Khalifah (Ulil Amri) mereka berpendapat: “Boleh tidak mematuhi peraturan-peraturan khalifah bilamana Khalifah itu ternyata seorang yang zalim atau khianat”.
Sejak itu timbullah masa pemikiran kritis dikalangan umat Islam tentang apakah Islam itu dan sebagainya. Yang lama-lama menjadi soal pembahasan dikalangan ulama-ulama Islam dan melahirkan bermacam-macam mazhab theologies (mutakallimin).
Sama seperti munculnya Khawarij, mazhab Murjiah timbul setelah ibukota kerajaan Islam pindah ke Damsyik (sebab politik). Banyak dari Khalifah-khalifah Bani Umayah dianggap sangat mengesampingkan agama Islam, bertindak sangat kejam dan berbuat dosa. Dalam persoalan ini kaum Murjiah menjawab bahwa;
“Seorang muslim boleh saja melakukan sholat di belakang seseorang yang baik maupun sholat di belakang seseorang yang jahat. Walaupun Khalifah-khalifah itu kejam namun mereka tetap Muslim juga”. Kaum Murjiah menganggap bahwa keputusan tentang baik dan buruknya seorang Khalifah adalah urusan Tuhan dan bukan urusan manusia. Dari segi politik, dogma theologies ini sangat menguntungkan posisi Bani Umayah. Pendapat ini jelas merupakan kebalikan dari pendapatnya Khawarij.
Dogma Murjiah ini mendapat reaksi secara dogmatic pula dari Qadariah (689 M, di Irak, masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan). Kaum Murjiah berpendapat kalau Khalifah Umayah membunuh orang, itu sudah ditakdirkan Tuhan. Kemudian kaum Qadariah membatasi qadar itu. Menurut Qadariah:
“Kalau Tuhan itu adil, maka Tuhan akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Dan manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau jahat. Kalau Tuhan itu telah menentukan lebih dulu nasib manusia, maka Tuhan itu zalim. Jadi manusia harus merdeka memilih perbuatannya. Manusia mempunyai kebebasan kehendak”.
“Orang-orang uyang mengajarkan bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung pada qadar Allah saja, dan selamat atau binasanya seseorang itu telah ditentukan oleh Allah sebelum orang itu masuk dunia, adalah sesat. Sebab pengajaran seperti itu bererti menentang ke-Utamaan Allah dan berarti menganggap Tuhan pula yang menjadi sebab kejahatan-kejahatan dari amal manusia”.
Pada masa yang sama dengan Mazhab Qadariah muncul pula Mazhab Jabariah (Khurasan, Persia) yang bersifat thesa dan anti thesa satu sama lain. Daerah timbulnya juga tidak berjauhan. Ini pun ada bingkai politik. Jabariah berpendapat bahwa :
“Hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Tergantung qodrat dan iradat Allah. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik yang kita lakukan adalah dari Allah SWT. Sedangkan sorga dan neraka itu hanyalah sebagai bukti saja dari tanda kebesaran Allah dalam qadrat dan iradatnya”.
Dalam hal ini Jabariah mendapat serangan yang luar biasa dari mazhab Qadariah dan Ahli Sunnah Waljamaah. Tentu saja kaum Jabariah mengakui ada-Nya Allah sebagai wajibal wujud yang menciptakan sekalian alam ini. Tetapi perselisihannya dari pendapat Ahli sunnah nanti ialah mengenai bagaimana mensifatkan wujud Allah itu. Berlainan dari Ahli Sunnah, mereka mencukupkan saja sifat-sifat keutamaan Allah itu dengan sifat wujud-Nya saja. Menurut Jabariah: “Dalam sifat wujud Allah SWT, telah tercakup segala sifat keutamaan Allah yang lainnya”.
Berbeda dari Qadariah, mazhab Mu’tazilah mendapat pengikut lebih luas dalam kalangan ulama. Beberapa Khalifah yaitu Al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsik telah mengakui mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab negara (913-947 M). Al Makmun berjasa besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dengan penterjemahan buku-buku Yunani, Persia, dsb. Dan pada masa inilah lahirnya ilmu figh, ushul diqh, tafsir dan ilmu hadis. Dan sekitar masa ini pula timbulnya tokoh-tokoh Ahli Sunnah Waljamaah seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik bin Anas (711-786), Muhammad bin Idris As Syafii (767-819), dan Ahmad bin Muhammad bin Hambal (779-855 M). Mazhab Mu’tazilah berpendapat bahwa : “Seorang muslim yang berdosa besar adalah tidak mukmin dan tidak kafir tetapi diantara keduanya”. Menurut Mu’tazilah, “Agama itu berakar pada dua pokok yaitu Wahyu Allah (Al Qur’an) dan Akal Manusia”.
Bagi Mu’tazilah: “Akal adalah sumber pengetahuan. Oleh karena itu manusia harus menaruh keraguan terhadap apa saja. Dalam keraguan itu, pengalaman panca indera adalah sumber pengetahuan yang paling rendah.Sumber pengetahuan yang tertinggi ialah akal. Segala kepercayaan tradisionil yang tidak berdasar harus dibuang dari kehidupan umat Islam. Hadis harus diterima dengan keraguan lebih dulu. Al Qur’an pun harus diterima dengan kritis dalam menafsirkannya, sebab banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memakai pengertian perlambang. Pengertian sorga dan neraka jangan diartikan materialistis seperti kebendaan duniawi. Dan shiratalmustakim bukanlah jalan biasa antara sorga-neraka, tetapi harus diartikan sebagai perlambang saja”.
Etika yang ditawarkan Mu’tazilah:
Bahwa “Segala paham yang tidak cocok dengan keadilan Tuhan haruslah dihilangkan dan dibuang jauh-jauh”. Seperti kaum Qadariah mereka berpendapat bahwa “Demi keadilan Tuhan, manusia harus diganjar amal perbuatannya. Karena itu, manusia harus mempunyai kebebasan untuk berbuat apapun”. Menurut Mu’tazilah: “Jika manusia tidak tidak merdeka dalam perbuatan-perbuatannya maka adalah tidak adil jika Tuhan minta pertanggung jawaban dari manusia. Jadi, berbuat adil adalah wajib bagi Allah”.
Dalam soal ini Mu’tazilah jelas tidak sepaham dengan Ahli Sunnah. Menganai kekuasaan Allah itu adalah mutlak tak terbatas (absolut). Jika wajib melakukan, maka itu diartikan Ahlu Sunnah bukanlah absolut lagi, sebab telah dibatasi. Mu’tazilah berpendapat bahwa:
“Allah menciptakan alam ini adalah dengan maksud Baik (Al Ishlah). Allah menciptakan manusia adalah supaya manusia berbahagia. Karena itulah Allah mengirimkan wahyu pada Nabi untuk menuntun manusia menuju kebahagiaan. Pengiriman Nabi itu bukah rahmat semata, tetapi adalah suatu hal yang wajib adanya demi kebahagiaan manusia. Dalam hal ini, manusia merdeka untuk mentaati tuntunan itu atau tidak. Manusia yang menurut akandiberi anugerah, sedang yang tidak menurut akan diberi hukuman. Kalau manusia berbuat baik tetapi sengsara didunia, maka pasti mendapat anugerah Allah SWT di akhirat. Keadilan Allah itu berlaku untuk seluruh manusia, Muslim atau bukan Muslim, serta seluruh makhluk dan isi alam semesta”.
Mengenai persoalan baik dan buruk, kaum Mu’tazilah bertentangan denga Ahli Sunnah. Menurut Ahli Sunnah: “Apa yang diperintahkan Allah SWT adalah baik (hasan), dan apa yang dilarangnya adalah buruk”. Jadi, penilaian baik dan buruk adalah tergantung pada perintah dan larangan Tuhan. Padahal, Mu’tazilah berpendapat bahwa: “Pengertian baik dan buruk itu adalah mutlak atas dirinya sendiri. Karena sesuatu itu adalah baik, maka Allah memerintahkannya. Dan karena sesuatu itu adalah buruk maka Allah melarang melakukannya. Untuk mengetahui perbedaan baik dan buruk itu manusia diberi akal disamping wahyu. Wahyu (Al Qur’an) dan Akal inilah akar pokok agama”.
Metafisika Mu’tazilah :
Bahwa “Segala fikiran yang membahayakan Ke-Esa-an Allah harus dibuang jauh-jauh. Allah sendiri lah Sang Pencipta (Al Khalik) sekalian alam. Allah yang berbuat dan Allah yang menentukan segala yang terjadi. Allah juga yang mengadakan pemeliharaan-pemeliharaan khusus bagi tiap-tiap oknum”. Dimisalkan, “Kalau terjadi perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita kemudian lahir daripadanya seorang anak, maka itu bukanlah semata-mata karena bercampurnya benih jantan dan benih betina dari keduanya (seperti pendapat Aristoteles), tetapi terjadinya bayi itu adalah atas ciptaan Allah. Tanpa ciptaannya tidak mungkin benih-benih itu tumbuh”.
Menurut Aristoteles, peristiwa seperti itu adalah detail yang tidak lagi ditangan Tuhan. Hal itu telah terserah pada kuasa hokum alam. Sedang Tuhan hanya menguruskan pemeliharaan yang umum atau garis besarnya saja.
Bagi Mu’tazilah, hukum alam yang berdiri sendiri tidak ada. Hukum alam sebenarnya adalah sunnatullah. Karena itu, Mu’tazilah menolak keabadian hokum alam. Hukum alam dapat berobah setiap Allah menghendaki.
1. Tauhid
Mu’tazilah menentang cara-cara anthropo-morphisme yang membayangkan Allah sebagai manusia (tajsim). Dan mengenai sifat-sifat Allah, mereka tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT yang berdiri sendiri. Kalau Allah itu mempunyai sifat maka sifat-sifat itu adalah abadi. Kalau sifat-sifat itu abadi maka berarti disamping Allah itu ada pula hal-hal yang abadi. Kalau disamping Allah SWT ada hal-hal yang abadi, maka itu menyalahi tauhid dalam agama Islam.
Menurut Mu’tazilah, Yang abadi itu hanya Allah saja. Dia Maha Esa, Al Wahid, Al Ahad. Dan karena Allah itu Satu, maka Allah itu tidak boleh dibayangkan mempunyai sifat, baik sifat yang didalam Allah ataupun sifat diluar Allah. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu tahu karena pengetahuan atau hidup karena kehidupan.
Apa yang disebut atau dianggap sifat itu tidak dapat dipisahkan dari Allah SWT sendiri. Allah tahu sama dengan Allah berkuasa, sama dengan Allah hidup, sama dengan Allah melihat, mendengar, dan sama saja dengan Allah itu ada.
Mu’tazilah berpendapat bahwa “Kita percaya bahwa Allah itu ada, karena adanya akal kita yang telah diciptakan Allah untuk kita sehingga kita mengenal Allah SWT itu ada. Dengan akal lah kita mengenal kebenaran dan dengan akal lah kita dapat meraih kebahagiaan”.
Dala soal ini Ahli Sunnah mengatakan bahwa “Manusia wajib percaya bahwa Allah itu ada karena ada dalam Al Qur’an dan ada dalamHadis (diajarkan Nabi Muhammad SAW)”.
Kalau ada kertas maka mesti ada yang membuat kertas , kalau ada pembuat kertas mesti ada Pembuat dari pembuat kertas. Jadi, kalau ada suatu kejadian mesti ada sebab yang menyebabkan. Kalau ada sebab maka harus ada yang menyebabkan sebab itu. Begitu seterusnya. Kalau kita tidak mengadakan suatu “akhir” maka kita akan berbicara absurd (sia-sia tanpa hasil). Harus ada Sebab Pertama dari segala yang ada, dan causa prima itu adalah Allah SWT.
2. Al Qur’an
Mengenai kejadian Al Qur’an, Mu’tazilah berselisih besar dengan Ahli Sunnah, yang menjadi salah satu alasan penyebab jatuhnya Mu’tazilah. Mulanya hal itu berpangkal pada tafsir bagaimana kita mengartikan Allah berkata. Apakah Allah berkat-kata seperti manusia?
Ahli Sunnah berpendapat : “Firman Allah itu bersifat abadi, tak pernah berhenti atau putus. Sama seperti Qodrat dan ilmu. Tanpa awal dan akhir. Dan karena Al Qur’an itu adalah firman Allah, maka Al Qur’an pun bersifat abadi,, tidak punya awal dan ke-akhir-an. Jadi senantiasa ada dan tidak putus”. Mu’tazilah membantah demikian: “Suara Allah dalam firman-Nya itu adalah tercipta pada suatu saat dengan benih ciptaan tertentu dan suara yang diciptakan Allah itulah yang terdengar oleh Muhammad SAW. Jadi suara itu bukan sifat Allah, bukan suara yang abadi dan bukan suatu atribut allah. Suara Al Qur’an adalah makhluk-Nya, dengan makhluk ini Allah menerangkan kehendak-Nya. Makhluk ini tidak abadi. Yang abadi hanyalah Allah semata. Tidak mungkin ada yang kekal selain Allah SWT”.
Mu’tazilah adalah golongan yang amat kritis, bukan saja terhadap cara-cara penafsiran Al Qur’an dan Hadis tetapi juga kritis terhadap pengaruh-pengaruh ajaran filsafat klassik Yunani (Aristoteles dan Neo-Platonisme).

Sebelum timbulnya mazhab-mazhab di atas, orang belum mengkhususkan suatu mazhab dengan istilah “Ahli Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA)”, sebab semua umat Islam dianggap sebagai ahli sunnah Nabi SAW. Tetapi ketika timbul bermacam-macam mazhab ilmu kalam, terutama aliran Mu’tazilah yang amat meragukan kebenaran sunnah Nabi dan ingin menafsirkan Al Qur’an dengan filsafat saja, maka sebagai reaksinya timbullah gerakan yang dinamakan Ahli Sunnah wal Jama’ah ang ingin membela sunnah Nabi dikalangan ummat mayoritas Islam.
Mula-mula Ahli Sunnah dipimpin oleh tokoh-tokoh yang lebih mementingkan dalil-dalil nakliah Qur’an dan Hadis saja daripada dalil-dalil akali yang berdasar logika. Sehingga mazhab ini sangat kolot dan mundur dalam hal intelektulisme. Setengah abad kemudian barulah mazhab ini mendapatkan dasar-dasar dogmatic yang kuat dalam menghadapi filsafat theologies kaum Mu’tazilah. Waktu itu ada dua ulama besar yang pendapat-pendapatnya dapat diterima sebagai pendapat Ahli Sunnah yaitu Abul Hasan Al Asy’ari (873-935M) dan Abu Manshur Al Maturidi (wafat 944 M).
Bilau-beliau inilah yang menyusun teori dogmatiknya dengan sangat mengindahkan penyesuaian antara Al Qur’an dan Hadis dengan logika akal. Pendapat kedua ulama ini terutama Al Asy’ari amatlah berpengaruh dan diterima oleh mazhab Ahli Sunnah sesudahnya. Meskipun dibanding pendapat Ahli Sunnah sebelumnya, pendapat Al Asyari itu ternyata banyak juga perbedaannya. Berikut ini dijelaskan pendapat-pendapat Ahli Sunnah sebelum masa Al Asy’ari serta pendapat-pendapat Ahli Sunnah menurut Al Asy’ari dan Al Maturidi.
Etika Ahli Sunnah :
Menurut Ahli Sunnah: ”Apa yang diperintahkan Allah itu baik dan apa yang dilarang itu buruk”. Hal ini berarti tidak ada kebaikan yang mutlak dan tidak ada kejahatan yang mutlak karena semua itu hanyalah menurut perintah Allah saja. Ahli Sunnah meyakini bahwa:
“Orang-orang yang mengerjakan dosa besar atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama apabila sampai mati belum tobat, mereka dihukumkan sebagai orang mukmin yang melakukan maksiat. Diakhirat kelak Allah berkuasa mengampuninya. Tetapi apabila tidak diampuni Allah, mereka akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Dan apabila azab hukuman itu telah dijalani, mereka mempunyai harapan besar untuk masuk surga”.
Artinya mereka tidaklah kekal di dalam neraka. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah: “Orang yang berdosa besar dan meninggalkan kewajibannya dan tidak tobat maka hukumnya fasik. Dan orang fasik itu kekal di neraka”.
Ahli Sunnah menganggap:
“Kekuasaaan Allah itu absolut tak terbatas. Dan keadilan itu terletak pada kehendak-Nya”. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa; “Allah itu wajib adil”. Sedangkan menurut Ahli sunnah:
“Wajib itu tidak ada bagi Allah. Sebab kalau Allah diwajibkan melakukan sesuatu maka itu berarti kekuasaan-Nya telah terbatas. Kalau Allah mengirimkan Nabi-Nabi maka itu bukan lah kewajiban Allah, tetapi hanya rahmat-Nya semata bagi makhluk-Nya”.
Dalam hal ini harus dimaknai bahwa segala perbuatan Allah itu tidak ada yang hampa dan tidak pernah kosong dari hikmah kebijaksanaan walaupun akal manusia belum atau tidak dapat menangkapnya.
Ahli Sunnah mengakui bahwa:
“Setiap orang memang benar memiliki kasab (usaha) dan ikhtiar (pemilihan bebas) dalam segala perbuatannya, tetapi hal itu tidak bisa lepas daripada qadar yang ditentukan Allah dan tidak bisa lepas dari pengetahuan dan kehendak-Nya”.
Harus dimaknai bahwa manusia hanya sekedar mempunyai ikhtiar, hasrat, dan niat dalam segala amal perbuatannya itu. Dan inilah yang dinamakan kasab itu. Akan tetapi, meskipun segala perbuatan manusia itu semuanya daripada Allah SWT namun tidaklah sewajarnya kalau hal itu berarti Allah menghendaki perbuatan jahat seperti yang dikatakan kaum Qadariah.
Selanjutnya dikatakan Ahli Sunnah bahwa:
• “Iman adalah kepercayaan didalam hati yang diucapkan dengan lisan, sedang amal perbuatannya merupakan syarat sempurnanya iman itu”
• “Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal belum bertobat, hukumnya terserah pada Allah”
Metafisika Ahli Sunnah:
Dalam soal metafisika inilah tamapak jasa besar Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam merasionalisir faham Ahli Sunnah. Banyak terdapat perbedaan antara ulama Ahli Sunnah sebelum dan sesudahnya. Alam pikiran mazhab Ahli Sunnah sendiri berobah setelah zaman Al Asy’ari dan Al Maturidi ini. Jasa Al Asy’ari dan Al Maturidi akan kita simak terutama dalam soal adanya Allah (Tuhan), Al Qur’an, Tauhid, dan Kejadian Alam.
Adanya Tuhan:
Apa sebabnya manusia harus percaya bahwa Tuhan itu ada?. Mu’tazilah menjawab bahwa akal kita lah yang menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada. Tetapi Ahli Sunnah (lama) menjawab, kita wajib menganggap Tuhan itu ada sebab diajarkan oleh Nabi Muhammad dan tersebut dalam Al Qur’an. Kemudian Al Maturidi menjawab soal ini:
“Kita wajib percaya bahwa Tuhan itu ada adalah karena perintah Tuhan. Dan perintah ini dapat kita tangkap dengan akal. Jadi akal itu bukanlah sumber, tetapi hanyalah alat saja untuk mengetahui”.
Mengenai sifat-sifat Tuhan, Ahli Sunnah mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kesempurnaan yang tak berbeda dari dhzat-Nya sendiri yaitu abadi. Al Asy’ari mengatakan: “Allah itu mengetahui oleh karena pengetahuan, yang tak berbeda daripada dhzat Tuhan”. Istilah “oleh karena” menunjukkan kalimat instrumentalis (sebagai alat). Mu’tazilah,seperti kita ketahui, menganggap pendapat-pendapat ini syirik. Al Maturidi mendukung pendapat Al Asy’ari soal ini dengan: “Tuhan mengetahui dengan mempunyai pengetahuan yang abadi juga. Jadi pengetahuan bukan lagi sebagai alat”. Mu’tazilah menjawab: “Kalau pengetahuan itu abadi maka itu juga berarti syirik, sebab ada yang abadi lain disampng Tuhan”.
Bagi Ahli Sunnah, keabadian sifat-sifat itu bukan berarti berdiri diluar dhzat Allah. Allah tetap Maha Esa dan Abadi dengan sendirinya. Ke-Esa-an itu sendiri dilihat dari bermacam-macam segi. Sifat-sifat itu hanya mengisi pengertian kesempurnaan. Faham Al Asy’ari dan Al Maturidi dala beberapa hal adalah synthesa antara Mu’tazilah dan Ahli Sunnah yang lama. Al Asy’ari sendiri mulanya selama 40 tahun merupakan salah seorang ulama Mu’tazilah sebelum beliau masuk golongan Ahli Sunnah. Akal yang dipentingkan oleh Mu’tazilah diambil Al Asy’ari. Pengikut Al Asy’ari (ASWAJA) berpendapat :”Manusia harus memakai nazhar bahwa untuk mengetahui Tuhan itu harus menggunakan akalnya. Tidak boleh taklid saja”. Pendapat golongan Al Asy’ari ang tidak disetujui Ahli Sunnah ialah tentang membersihkan pengertian Tuhan dari tajsim (anthropo-morphisme). Seperti Mu’tazilah, kita (pengikut Al Asy’ari) juga melakukan takwil tentang istilah-istilah tajsim itu. Misalnya kata aidin yang tersebut dalam Al Qur’an “wa banainaha biaidin” (Kami jadikan langit itu dengan tangan). Aidin tidak boleh disamakan dengan tangan manusia., tetapi kekuasaan Allah. Golongan pengikut Al Asy’ari (ASWAJA) ini digolongkan sebagai ulama Khalaf dan yang sebelumnya adalah ulama Salaf dalam klassifikasi Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Tentang al Qur’an :
Ahli Sunnah sebelum Al Asy’ari berpendapat : “Apa yang terdapat diantara kulit itu adalah firman Allah”. Artinya, bahwa huruf-huruf yang ditulis dengan tinta itu juga adalah qadim dan abadi. Dan yang kita dengar adalah dari orang yang membacanya itu adalah firman Tuhan yang tidak diciptkan itu. Al Asy’ari berpendapat bahwa “Firman Tuhan itu adalah abadi, akan tetapi keabadian itu hanya mengenai percakapannya didalam hati atau aslinya firman itu sebelum bdiucapkan dan dituliskan. Tatkala telah diucapkan dan dituliskan maka yang kita dengar dan yang kita baca itu adalah pemberitahuan atau pernyataan dari firman yang asli itu”. Artinya, bahasa dan tulisan itu adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Pemberitahuan dan pernyataan itu adalah identik (sama) dengan firman Allah ayang sli, yang tersimpan dalam “lauh al mahfudz”. Al Qur’an itu tersimpan dalam hati manusia yang arif (ulama). Al Maturidi berpendapat bahwa “Apa yang tertulis dalam al Qur’an itu adalah firman Allah, begitu pula apa yang dibacakan dalam masjid dan apa yang dikeluarkan dengan tenggorokan manusia. Tetapi huruf-huruf yang tertulis itu, lagunya dan suaranya itu adalah ciptaan (makhluk) dan tidak qadim”.
Tentang Kejadian Alam :
Ahli Sunnah dapat menerima teori filsafat dari Al Asy’ari, yang sependapat dengan Demokritus dan plotinus dan sebagainya bahwa dunia ini terdiri dari atom-atom. Tetapi berlainan dengan filsafat Barat sekarang, Al Asy’ari berpendapat bahwa atom-atom itu sudah mempunyai sifat sendiri dan tidak dapat berkembang . Atom-atom itu tidak dapat berobah. Dapat dipisahkan satu sama lain oleh ruang antara,dan satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi.
Perobahan dalam dunia ini menurut teori atomistic Barat disebabkan karena atom-atom itu berkelompok, berkembang, dan berpisah. Itulah yang menyebabkan perobahan dan pergeseran didalam dunia ini. Segala gerakan atom adalah menuruti suatu hukum alam yang pasti yang tunduk pada hukum “sebab akibat” dari Aristoteles dan Neo-Platonisme.
Sebaliknya, menurut Al Asy’ari perobahan dunia (alam) ini terjadi karena atom-atom tadi senantiasa msuk dan keluar dari eksistensi (alam “Ada”) ini. Masuk berarti diciptakan dan keluar berarti ditiadakan/dimusnahkan Tuhan. Jadi, Tuhan senantiasa menciptakan atom baru. Ringkasnya beliau menolak hokum sebab akibat. Tuhan baginya bukanlah sebab, tetapi Pencipta, dan Pemelihara. Pengaruh filsafat Al Asy’ari ini diterima dengan hati-hati oleh Ahli Sunnah kemudian pada abad 12 Masehi disokong oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali (1058-1111 M) sehingga faham ini bisa diterima bulat-bulat oleh Ahli Sunnah. Pelajaran Theologinya ini menjadi rumusan pelajaran Tauhid Ahli Sunnah hingga sekarang ini yang dapat mengatasi pengaruh mazhab Mu’tazilah.Yang terkenal misalnya, pelajaran Sifat Dua Puluh.
Sebagian orang menganggap bahwa Al Ghazali bukan seorang ahli filsafat tetapi seorang ahli tasawuf. Alasannya karena Al Ghazali dalam bukunya “Tahafutul Falasifah” telah menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dab golongan Islam sendiri, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa akal dan filsafat bukanlah alat yang paling utama baginya.
Sesungguhnya anggapan Al Ghazali itu tidak benar. Pun bagi kita sendiri yang telah belajar dari Al Ghazali. Kalau Al Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata, maka itu tidak perlu diartikan bahwa Al Ghazali telah menentang pemakaian akal dan amal filsafat itu sendiri. Malahan, seluruhprestasi Al Ghazali adalah hasil akal dan karya filsafatnya yang beliau sesuaikan dengan prinsip-prinsip agama Islam.
Memang benar jika mistik atau tasawuf umumnya lebih memakai perasaan daripada pemikiran, akan tetapi dala tasawuf Al Ghazali jelas sekali adanya faktor pemikiran yang senantiasa tampak daripada faktor perasaan. Hal ini sesuai dengan tuntunan aya-ayat Al Qur’an tentang pentingnya akal.
Sikap Al Ghazali yang seperti itu dapat kita maklumi sebagai dampak dari bias-bias politik dalam berbagai pemikiran filsafat Islam, termasuk tasawuf nya Al Ghazali, terutama dalam perseteruan antara ijra-ul-adat (Al Ghazali dan Al Asy’ari) dengan pengaruh hukum Causal di dunia Islam, terutama daerah Maghribi. Hal ini terus berlangsung dan jelas terlihat dalam sejarah perseteruan antara Bani Umayah yang dijatuhkan Bani Abbas (750 M). Bani Abbas berpusat di Baghdad, berjaya antara 750-850 M sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kondisi tersebut memicu kerajan Islam di Andalusia (Spanyol) untuk mengejar ketertinggalannya.
Wallahu a’lam bishshawab
Wallahul muwaffiq ila aqwamiththorieq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pengikut